Kamis, 25 Februari 2016

Bhineka Tunggal Ika Adalah Dinamika, Bukan Tujuan



Meskipun bersuku-suku dan beragam budaya suku, Indonesia memiliki kebudayaan (hasil budaya) yang diakui bersama. Di antaranya adalah :

1. Bahasa Indonesia,
2. Mata uang rupiah,
3. Dasar negara,
4. UU Dasar Negara,
5. Dan apapun yang merupakan hasil pemikiran bersama yang berguna dari dan untuk bangsa Indonesia.

Tentang dasar negara, dimana pada lambang Garuda Pancasila, menggenggam tulisan Bhineka Tunggal Ika, adalah sesuatu yang sangat layak untuk dicermati.

Saat menggenggam tulisan tersebut, sayap garuda sedang terkembang, bukan sedang mengatup. Itu artinya ia sedang terbang, bukan sedang hinggap.

Singkatnya sang garuda sedang terbang membawa Bhineka Tunggal Ika, bukan hinggap pada Bhineka Tunggal Ika.

Bila karena takdir, karena apapun ada ajalnya, masing-masing kebudayaan suku di Indonesia ini musnah, akankah sang Garuda jadi lumpuh dan tidak lagi dapat terbang? Tentu tidak! Karena yang dibutuhkan oleh sang garuda untuk terbang adalah sayap dan kehidupan, bukan selembar pita bertajuk Bhineka Tunggal Ika.

Jika suatu saat sang garuda ingin hinggap, padahal pita itu tidak ada, maka ia tetap bisa hinggap. Dan hinggapnya adalah di kedalaman jiwa. Pada jiwa siapapun meskipun ia bukan penganut kebhinekaan.

Bhineka Tunggal Ika itu bukanlah pondasi negara tetapi dinamika berbangsa. Dan yang namanya dinamika adalah fleksibel. Bahkan suatu saat bisa saja berubah menjadi "Samakta Tunggal Ika", bukan lagi "Bhineka Tunggal Ika" secara implementasi di lapangan.

Hal ini sebenarnya terasa di kota-kota besar yang heterogen, kebhinekaan itu hanya terlihat dari tempat tinggi, tapi ketika membumi maka yang terasa adalah Samakta Tunggal Ika. Contoh paling nyata adalah ketika bersama-sama menggunakan bahasa Indonesia, mata uang rupiah, dan bermusyawarah.

Langkah-langkah mempertahankan budaya masing-masing suku di Indonesia tetap harus dilakukan, termasuk dalam mempertahankan bahasa ibu. Tetapi bila gagal, silahkan baca paragraf ke-6.

Pada jamannya, dahulu kala di Majapahit, semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa bukanlah tujuan tapi katalisator. Artinya keberagaman yang ada bukanlah sesuatu yang diada-adakan tetapi justru berupaya untuk dikatalisasi, dikendalikan agar tidak menjadi bibit perpecahan.

Intinya, ada atau tidak ada keberagaman budaya di Indonesia tidaklah mengancam eksistensi bangsa. Karena yang mengancam eksistensi bangsa justru pemikiran-pemikiran separatis, sukuisme, korup, amoral, dan disorientasi.

Ada atau tidak ada Bhineka Tunggal Ika, bangsa Indonesia akan tetap bisa berdiri. Dan budaya serta kebudayaan Indonesia akan tetap ada. Pondasi budaya itu ada pada Sumpah Pemuda, bukan pada kebhinekaan.

Soempah Pemoeda

Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Yang namanya bersatu itu memang mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk dilaksanakan. Termasuk oleh pihak-pihak yang senantiasa mengibarkan ajakan untuk bersatu.

Di saat bangsa Indonesia sedang terpuruk sedemikian rupa, yang dibutuhkan adalah para insan yang berpikiran luas sehamparan Nusantara dan jagatraya, bukan yang sekotakan provinsi dan budaya lokal.

Bukankah yang diharapkan adalah kemaslahatan bangsa secara umum, bukan sebatas kemaslahatan suatu suku bangsa?

Yang berpikiran luas saja belum tentu mampu membenahi bangsa, apalagi yang hanya sekotakan budaya daerah. Karena Bhineka Tunggal Ika adalah dinamika, bukan tujuan atau prasyarat.

Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah "budaya" dan "kebudayaan". Keduanya memiliki makna yang berbeda namun saling berhubungan. Budaya adalah karakternya, sementara kebudayaan adalah produknya.

Pijakan dasar budaya Indonesia adalah Sumpah Pemuda yang menekankan pada homogenitas tumpah darah, bangsa, dan bahasa. Adapun Bhineka Tunggal Ika bukanlah pijakan budaya Indonesia, ia hanyalah dinamika yang boleh ada ataupun tidak.

Intinya, Bhineka Tunggal Ika tidak diwajibkan keberadaannya dalam pijakan budaya Indonesia. Tapi apabila masih ada, maka harus diakomodir.

Budaya Indonesia akan tetap ada meskipun tanpa Bhineka Tunggal Ika. Hal ini akan mudah dipahami bila merujuk pada asal-muasal lahirnya istilah tersebut.

Berbicara soal eksistensi bangsa, ada dua benteng terakhir yang menjadi pertanda apakah Indonesia ini sudah benar-benar "habis" ataupun belum. Pertanda tersebut adalah :

Pertanda kebudayaan : Apabila bahasa Indonesia sudah tinggal nama.
Pertanda ekonomi : Apabila BUMN sudah tinggal nama.


Saat ini Indonesia belum habis, tapi sudah sangat terdesak.

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Bhineka Tunggal Ika Adalah Dinamika, Bukan Tujuan, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.