Selasa, 02 Februari 2016

Mengapa Harus Rasialis Di Tengah Luasnya Dunia?




Belajar bersama ustadz kampung jauh lebih nyaman dibanding menyimak sejumlah tutur para budayawan gadungan. Yaitu budayawan-budayawan yang mengaku-aku sendiri.

Ustadz kampung tapi tidak kampungan. Ia berkata :

"Kang, Allah telah menitipkan bahasa Arab untuk pengantar agama kita. Bahasa Inggris untuk mendalami teknologi canggih. Bahasa Indonesia untuk bernegara. Dan bahasa daerah masing-masing untuk yang sesuku. Semuanya itu titipan yang harus dimanfaatkan di dalam kebaikan dan kebenaran."

Menurutku pernyataan ini yang jauh lebih berwawasan, adil, dan sesuai fitrah manusia. Yang keluar dari fitrah itu, jangankan mampu membawa kebahagiaan bagi umum, mencapai kebahagiaan pribadi saja tidak mampu.

Salah-satu sikap yang tidak fitrah adalah rasialis alias sukuisme, padahal rasulullah jelas-jelas melarang rasialis.

"Bukan dari golongan kami orang yang menyerukan kepada 'ashabiyah (fanatisme kesukuan), bukan dari golongan kami orang yang berperang demi 'ashabiyah, dan bukan dari go­longan kami orang yang mati mempertahankan 'ashabiyah". (H.R. Abu Daud).

Salah-satu ciri rasialis adalah merasa memiliki suatu kebudayaan dan mewajibkan orang lain yang sesuku untuk hanya mau menggunakan kebudayaan itu. Padahal semua itu hanya amanat, titipan, dan cobaan dari Allah.

Bagi kaum rasialis alias sukuisme alias ashobiyah, dunia akan terasa sangat sempit karena yang di luar kebudayaan sukubangsanya dianggap tabu untuk dipakai.

Ironisnya, dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap saja menggunakan barang-barang karya kebudayaan asing. Sungguh munafik dan tidak tahu malu jika ditelisik sampai ke sana.

Kaum rasialis umumnya selalu menunjuk hidung orang lain dan menuduh bahwa orang lain tersebut iri dan tidak ingin terkalahkan. Padahal itu kamuflase jiwa. kaum rasialislah yang sesungguhnya tukang memelihara rasa iri. Sementara orang lain di luar sana jangankan untuk iri, ingat saja tidak kepada si rasialis tersebut.

Kaum rasialis selalu menuduh buruk pada orang lain, padahal keburukan yang dituduhkan itu sangat mungkin menumpuk dalam diri mereka sendiri. Sedemikian menumpuk sehingga tidak mampu lagi berintrospeksi.

Sungguh beruntung mereka yang taát pada rasulullah dengan menjauhi rasialis alias ashobiyah. Dunia menjadi terasa sangat luas dan membahagiakan. Yang penting tetap berpegang pada bimbingan Allah dan rasul-NYA.

Aku berlindung kepada Allah dari sikap rasialis.

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Mengapa Harus Rasialis Di Tengah Luasnya Dunia? , semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.