Selasa, 19 Juli 2016

Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Pertama


Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Pertama - Bukan, Mahisa Anabrang bukan seorang yang pengecut dan takut pada kematian. Ia hanyalah seorang pimpinan pasukan yang tahu persis bagaimana strategi perang harus digelar. Dan strategi mundur hingga membuat lawan tidak berhasil menghancurkan pasukannya adalah sebagian dari kemenangan. Sebagian lagi akan ia pertaruhkan esok hari untuk benar-benar memastikan apakah pasukannya akan kalah atau menang.

Sebagai pendekar yang berjabatan panglima perang, Mahisa Anabrang bisa mengukur persis bagaimana kekuatan pasukan Tuban yang saat itu berjumlah sekitar 3000 orang. Sementara jumlah pasukan Majapahit hanya 500 orang. Dengan tingkat keterampilan masing-masing prajurit dari kedua belah pihak yang setara, maka faktor jumlah tentu sangat menentukan.

Dalam peperangan kemarin sekitar 100 orang prajurit Majapahit tewas, sedangkan dari pihak Tuban nampaknya juga tidak jauh dari jumlah itu. Data-data kasar tersebut didapat oleh Mahisa Anabrang dari para senapati pengapitnya yaitu Gagak Sarkara dan Mayang Sekar. Terutama yang berkaitan dengan jumlah tewas dari pasukan Tuban. Adapun jumlah tewas dari pasukan Majapahit ia ikut menghitungnya secara akurat.

Dengan kekuatan yang berimbang, andai peperangan terus dilanjutkan, maka sama saja dengan bertindak konyol. Pasukannya akan habis terbunuh, sementara setidak-tidaknya 1000 orang prajurit Tuban akan tetap hidup. Dan ini berarti kekalahan.

Tidak, Anabrang tidak ingin kalah. Maka dengan sigap saat itu ia memerintahkan pasukannya untuk mundur sambil menyebar. Dan itu dilakukannya bukan dengan teriakan tetapi dengan kode tertentu yang telah diperintahkan kepada seluruh prajurit melalui para perwiranya. Adapun kode itu adalah manakala ia berganti menaiki kuda berwarna hitam maka pasukan harus mundur mengikuti perwiranya masing-masing.

Sebagaimana lazimnya seorang senapati utama, Anabrang memiliki banyak kuda perang. Dan pada peperangan kali ini ia membawa dua ekor kuda yang salah-satunya berwarna hitam. Ketika telik sandinya menyampaikan bahwa pasukan Tuban ternyata berjumlah sekitar 3000 orang, maka segera ia melakukan pengarahan singkat. Kepada Mayang Sekar dan Gagak Sarkara ia berkata :

"Para prajurit Tuban itu tingkat keterampilannya setara dengan prajurit kotaraja, dan kalian pasti sudah sangat paham tentang itu. Ketika kita kalah jumlah, maka kekalahan perang pulalah yang akan jadi upahnya. Besok kita akan tetap melawan jika mereka menyerbu, tetapi jika mereka memilih untuk menunggu maka kitapun akan bertindak sama.

Kalian tahu bahwa kedatangan pasukan kita ke sini hanyalah untuk membuka jalan sebelum pasukan Mahapatih Nambi datang, bukan untuk langsung bertempur. Mahapatih Nambi akan bertindak sebagai senopati utama, itu rencananya.

Tetapi sangat mungkin kita akan diserbu oleh pasukan Tuban terlebih dahulu. Oleh karena itu camkan baik-baik. Bila besok mereka menyerbu dan kita terdesak maka lihatlah ke arahku, carilah aku dengan pandangan mata kalian. Bila aku berganti kuda hitam, maka mundurlah sambil berpencar ke arah bukit Surataro. Sampaikan segera pesan ini kepada seluruh prajurit!"

Mayang Sekar dan Gagak Sarkara dengan cukat trengginas segera melaksanakan perintah itu. Dengan menggunakan cara pesan berantai maka perintah itu segera sampai kepada seluruh prajurit tanpa kecuali.

Untung tidak dapat diraih malang tidak dapat ditolak. Tidak lama setelah itu pasukan Tuban menyerbu hingga dapat mendesak pasukan Majapahit yang kalah dari sisi jumlah itu. Maka rencanapun dijalankan. Di saat pasukannya telah mengalami banyak jatuh koran, Anabrang segera berganti menunggangi si Aswakresna.


*****

Malam itu Ranggalawe tidak dapat tidur nyenyak. Niatnya untuk meluluh-lantakkan pasukan Majapahit tidak sepenuhnya tercapai. Ia malah kehilangan dua orang  pendekar andalannya yaitu Ra Tati dan Ra Gelatik. Keduanya terbunuh di tangan Mahisa Anabrang.

Ranggalawe telah mengingatkan pada para pendekarnya agar lebih memusatkan perhatian pada para prajurit biasa, dan menghindar dari Mahisa Anabrang. Perhitungan Ranggalawe sederhana, bila para prajurit biasa telah habis terbunuh, maka menghabisi Mahisa Anabrang adalah perkara mudah. Seperkasa apapun Anabrang, jika dikeroyok oleh banyak prajurit, maka akan habislah ia.

Rupanya tidak semua pendekar bisa menahan diri untuk tidak menjajal kesaktian Anabrang. Ra Tati dan Ra Gelatik gatal tangan. Dengan penuh percaya diri mereka menghadapi Mahisa Anabrang. Dan akibatnya fatal, hanya dengan jotosan-jotosan tangan kosong keduanya mengalami remuk kepala.

Anabrang bukanlah pendekar sembarangan, ia memiliki banyak kesaktian dalam hal olah kanuragan. Kulitnya tidak dapat ditembus bahkan oleh senjata pusaka yang berkaliber standar. Apalagi jika hanya oleh senjata yang tidak layak disebut pusaka. Maka di sinilah letak keapesan Ra Tati dan Ra Gelatik. Hanya dengan bermodalkan pedang yang mampu membelah batu mereka telah berani menantang Anabrang yang tubuhnya sekeras tameng waja.

Bertubi-tubi pedang Ra Tati dan Ra Gelatik mencecar tubuh Anabrang, dan Anabrang hanya diam mematung seperti arca. Tidak sedikitpun tubuhnya terlukai oleh sabetan-sabetan dan tusukan-tusukan pedang dari dua pendekar Tuban yang cukup ternama itu.

Di saat Ra Tati dan Ra Gelatik berhenti sejenak untuk mengambil nafas, Anabrang tiba-tiba bergerak secepat anak panah. Pukulannya telak menghantam kepala dua pendekar naas itu yang langsung tewas tanpa sempat mengaduh. Itulah kekuatan aji Ragawaja yang menjadi salah-satu andalan sang senapati yang sempat menorehkan namanya dengan tinta emas ketika mampu menaklukkan Swarnabumi.

Ranggalawe melihat kejadian itu hingga tubuhnya bergetar menahan marah. Namun belum sempat ia bergerak untuk menantang Anabrang tiba-tiba saja seekor kuda hitam berlari kencang. Anabrang sang pendekar dari desa Tebu itu melentingkan tubuhnya ke udara dan hinggap berdiri dengan manis di punggung si kuda hitam.

Berdiri di atas punggung kuda yang sedang berlari kencang hanya dapat dilakukan oleh seorang pendekar pilih tanding yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Dan kali ini Mahisa Anabrang yang mempertontonkannya. Tidak lama setelah itu, pasukan Majapahit berpencar meninggalkan palagan. Tinggallah Ranggalawe bersama pasukannya yang masih tersisa banyak.

Ranggalawe geleng-geleng kepala, kembali untuk kesekian kalinya ia mengagumi Anabrang. Dalam jagat kependekaran, Mahisa Anabrang memang setara dengan Lembu Sora, Nambi, dan dirinya sendiri. Mungkin hanya Raden Wijaya saja yang bisa mengalahkannya jika terjadi pertarungan satu lawan satu. Ya, siapa yang tidak kenal pada Raden Wijaya. Seorang muda usia yang bukan hanya terampil dalam ilmu politik tapi juga memiliki kesaktian pilih tanding yang setara dengan Ken Arok dan Ranggawuni.

Dalam hati Ranggalawe berkata :

"Kakang Anabrang, sesungguhnya aku sangat menghormatimu seperti engkau pula sangat menghargaiku. Tapi esok akan kukejar dirimu. Mari kita buktikan kulit siapa yang lebih keras. Tapi aku akan mengejar Nambi terlebih dahulu!"

Rangga Lawe menghela nafas panjang, tiba-tiba saja kecamuk pikirannya telah membawa pada suatu ingatan. Ia teringat pada tugas yang harus diselesaikannya yaitu memimpin pembangunan sebuah candi. Namun tugas itu kini harus ditinggalkannya. Kelak candi tersebut akan disebut candi Tikus beberapa abad setelah Majapahit runtuh.

Selanjutnya : Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Kedua

Sebelumnya : Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Tokoh Sentral

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Pertama, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.