Rabu, 31 Agustus 2016

Budaya Sensor Mandiri, Ajakan Baik dari Lembaga Sensor Film

Budaya Sensor Mandiri - Sungguh tragis dan sangat meresahkan ketika banyak generasi muda, di antaranya berusia remaja, menjadi pelaku dari berbagai tindak kriminal atau kejahatan.

Salah Satu Keresahan Kita Sekarang

Bentuk kejahatan mereka mulai dari penipuan, pencurian, perampokan, pembunuhan, hingga pemerkosaan. Lalu mengapa ini bisa terjadi, bahkan dalam jumlah atau frekuensi kejadian yang tinggi? Salah-satunya adalah  bermula dari perkembangan kejiwaan ketika mereka masih kanak-kanak.

Berbagai berita dari media-media mainstream banyak menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun angka kejahatan yang melibatkan remaja sebagai pelaku cenderung meningkat. Peningkatan dari sisi angka tersebut juga mengalami peningkatan pada level sadismenya.

Salah Satu Keresahan Kita Sekarang

Perkembangan kepribadian anak bukan hanya berasal dari faktor bawaan (takdir), melainkan juga sangat dipengaruhi oleh rekaman-rekaman informasi yang mengendap di alam bawah sadarnya.

Tidak hanya perilaku dan perkataan orang tua dan orang di sekitar mereka yang mempengaruhi kepribadian dan masa depan mereka tapi apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Contohnya saja dari tontonan, film, buku dan lainnya.

Kita tentu pernah atau bahkan sering mendengar balita menirukan cara berbicara tokoh kartun yang mereka gandrungi. Inilah bukti bahwa bukan hanya cara bicara orang tua dan orang di sekitanya yang mereka tiru melainkan bisa apapun yang mereka dengar. Tidak terkecuali suara-suara dari televisi.

Pada perkembangan berikutnya, mereka bukan hanya menyerap atau meniru suara, tetapi juga meniru tingkah-tingkah yang nampak pada tayangan yang ditontonnya, misalnya saja adegan kekerasan atau perkelahian.

Dalam hal tertentu, sejak kanak-kanak memang perlu ditanamkan untuk bisa bela diri secara fisik. Tetapi itu tidak berarti membiarkan mereka terbentuk sebagai pribadi yang menyukai kekerasan.

Tontonan Berpotensi Besar Menjadi Tuntunan

Masyarakat Indonesia dominan menjadikan televisi sebagai sarana hiburan utama di rumah bersama keluarga, tentu sangat terhibur dengan beragam acara televisi yang disuguhkan kepada pemirsa. Namun dibalik kelebihan tersebut, masyarakat perlu cerdas dalam menyaring atau memilah-milah tayangan yang menghibur dan membawa manfaat dalam kehidupan kita sehari-hari.

televisi sebagai sarana hiburan utama di rumah

Kita bisa menonton tayangan yang tidak akan memicu terjadinya kekerasan, atau tindak kriminal dan kesenjangan sosial dalam lingkungan kita sehari-hari, dengan adanya budaya sensor mandiri. Dan itu bermula dari kesadaran pribadi yang akan membantu mencerdaskan generasi muda Indonesia. Masyarakat dituntut untuk mendayagunakan teknologi informasi, khususnya yang berkaitan dengan tayangan atau acara – acara televisi, secara selektif.

Tontonan berpotensi besar menjadi tuntunan. Dan kita tidak ingin calon generasi penerus mendapat tuntunan yang buruk, bukan?

Bahaya Lain Mengancam dari Tayangan Internet

Sudah lumrah kita menemukan anak-anak Sekolah Dasar memenuhi warnet atau bahkan mengakses internet di rumahnya masing-masing. Dan itu banyak terjadi tanpa pengawasan orang tua.

Bahaya Lain Mengancam dari Tayangan Internet

Internet menyediakan beragam konten, mulai dari yang baik dan berguna hingga yang buruk serta tidak bermanfaat.  Maka pada sisi inilah sangat terbuka kemungkinan, entah sengaja ataupun tidak, anak-anak tersebut mengakses hal yang buruk-buruk, misalnya saja pornografi dan kekerasan.

Peran Institusi dan Kelembagaan

Dampak buruk dari sejumlah tayangan yang merusak, penulis sebut demikian karena tentu saja ada tayangan yang baik, tentu saja telah disadari benar oleh sejumlah institusi dan kelembagaan. Di antaranya adalah Menkominfo dan Lembaga Sensor Film.

Menkominfo terus menggalakkan Internet Positif. Hanya saja nampaknya akan melalui proses yang cukup panjang mengingat upaya Menkominfo bukan tanpa hambatan. Menyangkut teknologi Internet Positif, saat ini masih sedemikian mudah ditembus oleh para pengguna yang ingin bebas mengakses tanpa filter.

Untuk kelembagaan kita memiliki Lembaga Sensor Film Republik Indonesia, sebuah Lembaga yang telah berumur 100 tahun.

Banyak hal menarik yang dapat dijadikan catatan selama perjalanan 100 tahun sensor di Indonesia. Salah satunya mengenai perubahan paradigma yang berlaku dalam Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai konsekuensi amanah UU No. 33/2009 tentang Perfilman.

Lembaga Sensor Film Republik Indonesia

Sebagaimana diketahui UU No.33/2009 merupakan dasar hukum keberadaan LSF. UU ini juga memuat dan  mengatur antara lain prinsip dan pelaksanaan penyensoran film. Pasal 60 UU 33/2009 menyebutkan:

Ayat (2): Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor.

Ayat (3): Lembaga sensor film mengembalikan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.

Adanya Prinsip Dialog antara Lembaga Sensor Film dengan pemilik film yang disensor menegaskan bahwa lembaga tersebut kini bukan lagi pihak yang dapat menghilangkan adegan atau bagian tertentu dari sebuah film, atau bahkan menolak sebuah film. Dengan demikian sangat terbuka kemungkinan adanya para pemilik film yang membangkang serta karya-karyanya beredar di masyarakat.

Peran Masyarakat dalam Budaya Sensor Mandiri

Bila sebuah tayangan film yang berpotensi membawa dampak buruk kadung beredar, masalah akan tidak sederhana. Film tersebut memang bisa saja ditarik paksa dari peredaran dan pemiliknya dikenai sangsi, tetapi itu tidak otomatis mampu menghentikan tayangannya.

Film-film yang telah ditarik dari peredaran masih bisa marak tayang. Itu karena sekarang ada teknologi multimedia dan internet yang bisa digunakan untuk merekam dan menyebarkannya. Dan itu bisa dilakukan oleh siapapun secara swakarsa untuk tujuan tertent, misalnya saja tujuan iseng.

Sebuah tayangan televisi kini bisa direkam oleh pemiliknya, dan hasil rekamannya itulah yang disebarkan melalui internet.

Di zaman teknologi informasi saat ini budaya sensor mandiri perlu diterapkan oleh masyarakat dalam menikmati tayangan media elektronik yang berkualitas.

Tayangan – tayangan di media elektronik sangat mudah didapatkan melalui internet khususnya di situs Youtube. Sehingga tergantung niat seseorang apakah ingin menyaksikan tayangan negatif yang mengandung SARA ataukah tayangan positif yang membawa manfaat edukasi dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat sekarang ini perlu membangun BUDAYA SENSOR MANDIRI, sebuah ajakan yang sangat baik dari Lembaga Sensor Film Republik Indonesia.

Kualitas generasi yang akan datang ditentukan oleh kualitas pengasuhannya di masa kini. Termasuk ditentukan oleh kualitas tontonan mereka. Jadi, Ayo kita membangun Budaya Sensor Mandiri Demi Generasi yang Lebih Baik!

Update : Senin, 9 Januari 2017 jam 20.00 penulis menonton berita dari salah-satu stasiun televisi. Sungguh mendirikan bulu roma, di Palembang sepasang kakek-nenek dirampok oleh dua orang cucunya sendiri, yang dibantu oleh seorang temannya. Usia mereka adalah 18, 16, dan 14.

Sepasang suami istri berusia lanjut itu dibunuh secara sadis. Mereka, para perampok muda usia itu, merencanakan untuk pesta narkoba memanfaatkan hasil rampokan tersebut.


Budaya Sensor Mandiri, Ajakan Baik dari Lembaga Sensor Film

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Budaya Sensor Mandiri, Ajakan Baik dari Lembaga Sensor Film, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.