Rabu, 20 Juli 2016

Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Keempat


Sejenak kita tinggalkan Lawe dan Nambi yang sedang bertarung. Mari kita memperhatikan beberapa orang tokoh yang saat ini sedang menonton pertarungan tersebut. Kita mulai dengan Halayudha

Nampaknya terdapat beberapa periodisasi penyebutan terhadap Halayudha ini. Periode pertama adalah ketika ia amukti wibawa di bawah pemerintahan Kartanagara, raja Singhasari. Pada periode ini ia disebut dengan nama aslinya yaitu Halayudha.

Periode kedua adalah ketika ia berhasil menjadi mahapatih di jaman prabu Jayanagara. Pada periode ini ia disebut sebagai Mahapati.

Pararaton mengisahkan Halayudha menjadi patih setelah kematian Nambi tahun 1316. Sejarawan Slamet Muljana menganggap Mahapati identik dengan Dyah Halayudha, yaitu nama patih Majapahit yang tertulis dalam prasasti Sidateka tahun 1323.

Apabila dugaan Slamet Muljana benar, maka tokoh Mahapati alias Halayudha bukan orang biasa, namun masih keluarga bangsawan. Hal ini dikarenakan gelar yang ia pakai adalah dyah yang setara dengan raden pada zaman berikutnya. Misalnya, pendiri Majapahit dalam Nagarakretagama disebut Dyah Wijaya sedangkan dalam Pararaton disebut Raden Wijaya. Sementara itu Nambi dan Sora yang dalam prasasti Sukamreta hanya bergelar mpu.

Dengan demikian dapat dipahami mengapa Halayudha sakit hati ketika Nambi dan Sora yang bukan dari golongan bangsawan namun memperoleh kedudukan tinggi, masing-masing sebagai patih Majapahit dan patih Daha. Ia pun melancarkan aksi fitnah dan adu domba sehingga satu per satu para pahlawan pendiri kerajaan tersingkir.

Setelah pemberontakan Ra Kuti, hubungan antara Jayanagara dengan Mahapati mulai renggang. Akhirnya, semua kejahatan yang pernah dilakukan Mahapati pun terbongkar. Ia kemudian dihukum mati dengan cara cineleng-celeng, artinya "dicincang seperti babi hutan".

Ada yang menyebutkan bahwa Halayudha ini memiliki nama atau sebutan lain yaitu Ramapati. Tapi hal ini bertentangan dengan catatan prasasti bahwa tokoh Ramapati di jaman prabu Kartanagara adalah seorang yang berbudi luhur, tidak culas.

Sumber lain menyebutnya Ra Mapati ( sebutan Ra dimuka nama, sepertinya merupakan sebutan Bali karena ada pula disebut Ra Kuti, Ra Semi, Ra Banyak, Ra Tanca, dll). Karena setting kejadiannya sama maka disimpulkan bahwa Halayuda adalah Ra Mapati.

Di jaman Singhasari ada beberapa tokoh terkemuka, di antaranya adalah Raganata dan Kebo Anengah atau Kebo Tengah.

Nama Raganata dan Kebo Anengah adalah ciptaan pengarang Pararaton karena tidak dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan Tumapel atau Singhasari.

Disebutkan, Raganata digantikan Kebo Anengah pada awal pemerintahan Kertanagara, yang naik takhta tahun 1268. Pada prasasti Penampihan (1269) ditemukan nama-nama para pejabat Singhasari, antara lain Patih Kebo Arema dan Sang Ramapati. Disebutkan bahwa, Ramapati adalah tokoh senior yang bijaksana, yang merupakan pemuka para petinggi kerajaan.

Nama lengkap Ramapati terdapat dalam prasasti Mula Malurung (1255), yaitu Sang Ramapati Mapanji Singharsa, sebagai tokoh yang menyampaikan perintah Wisnuwardhana kepada bawahan, dan sebaliknya, menyampaikan permohonan bawahan kepada raja.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, nama sebenarnya dari Kebo Anengah adalah Kebo Arema, sedangkan Raganata adalah Mapanji Singharsa, bergelar Sang Ramapati.

Kembali kepada medan pertempuran antara Nambi dan Lawe. Halayudha bergumam dalam hatinya :

"Hmmm, Nambi. Semoga kau yang terbunuh dalam peperangan ini. Pertempuranmu dengan Rangga Lawe semoga menjadi akhir hidupmu. Dan setelah itu di Majapahit tidak ada lagi manusia bernama Nambi, anak Pranaraja!"

Hati Halayudha memang senantiasa dipenuhi oleh belatung-belatung iri hati pada orang lain. Dan itu biasa ia nyatakan dalam bentuk kasak-kusuk serta adu-domba tingkat tinggi.

Kini ia berharap Nambi yang gugur dalam peperangan ini karena akan mempermulus ambisinya. Bila Lawe yang gugur, maka justru namanya akan tenggelam dan Nambi yang berkibar. Sebaliknya bila Nambi yang gugur maka satu lagi pesaing akan hilang. Satu lagi, ya satu lagi, karena satu pesaing lainnya, yaitu Rangga Lawe, jelas telah tersingkir sejak kemarin.

Sejak terompet perang kemarin berbunyi, nama Rangga Lawe memang telah tersingkir dari Majapahit, terlepas dari apakah ia pada hari ini terbunuh atau tidak.

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Keempat, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.