Kamis, 21 Juli 2016

Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Kelima

   
Selain Halayudha, tokoh lain yang terus mengamati jalannya pertempuran adalah Mahisa Sora atau Lembu Sora. Ia adalah paman Rangga Lawe dari pihak ibu. Tokoh satu ini sering dianggap sebagai abdi Raden Wijaya yang paling setia.

Dalam beberapa karya sastra, Mpu Sora juga disebut dengan nama Lembu Sora, Ken Sora, Andaka Sora, atau kadang disingkat Sora saja.

Pararaton mengisahkan Sora ikut mengawal Raden Wijaya sewaktu menghindari kejaran pasukan Jayakatwang pada tahun 1292. Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan, Sora dengan setia menyediakan perutnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat keduanya beristirahat. Ia juga menggendong istri Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa.

Pada tahun 1293 Raden Wijaya dibantu pasukan Mongol menyerang Jayakatwang di Kadiri. Dalam pertempuran tersebut, Sora bertugas menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh patih Kadiri yang bernama Kebo Mundarang.

Dalam siasat selanjutnya, Raden Wijaya mengusir pasukan Mongol yang sedang berpesta pora merayakan jatuhnya Kadiri. Dalam pertempuran tersebut, Sora dan keponakannya yang bernama Ranggalawe bertindak sebagai pembantai orang-orang Mongol tersebut.

Atas jasa-jasanya tersebut Sora diangkat sebagai patih di Daha, dan hal ini pulalah yang menjadi salah-satu alasan mengapa Lawe memrotes keras keputusan Raden Wijaya. Secara objektif Lawe menilai bahwa pamannya itulah yang lebih pantas diangkat sebagai mahapatih.

Sora memang bukan tokoh biasa, ia adalah salah-seorang senapati pada jaman pemerintahan Singhasari. Kewiraannya telah sangat teruji. Ketika terjadi penyerbuan balik terhadap Kadiri, beberapa tahun setelah Singhasari runtuh, Sora berhasil membinasakan Mahisa Mundarang.

Gugurnya Mahisa Mundarang merupakan salah-satu kunci kemenangan pasukan Raden Wijaya. Betapa tidak, setelah Mundarang gugur maka mental pasukan Kadiri langsung merosot drastis. Bahkan banyak di antara mereka yang melarikan diri, menyerah, atau berbalik haluan.

Sora bukanlah tokoh yang senang menjalani politik, ia lebih menyukai pengabdian sebagai apapun tanggung-jawab yang dibebankan padanya. Hal inilah yang membuat dirinya menerima tanpa syarat terhadap keputusan apapun yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya ketika menunjuk para andahannya.

Dalam hal hubungan batin, hanya ada dua orang yang paling dekat dengan Raden Wijaya. Mereka adalah Nambi dan Sora. Nambi adalah sahabat Wijaya sejak remaja sementara itu Sora adalah guru dan bagaikan ayah. Soralah yang pertamakali mengajarkan kanuragan pada Wijaya sebelum akhirnya menantu Kartanagara itu menjelma menjadi seorang pendekar kelas satu.

Mahisa Sora adalah salah-seorang di antara dua yang diajak berembuk oleh Sanggrama Wijaya dalam penyusunan kabinet. Ya, hanya ada dua orang yaitu Sora dan banyak Wide. Bukan tanpa alasan mengapa Wijaya mengajak mereka berembuk. Banyak Wide adalah seorang politikus yang tiada taranya pada saat itu. Dengan langkah-langkah politiknya yang brilyan, Banyak Wide mampu mengubah daerah gersang Sumenep menjadi subur makmur. Dari sinilah ia digelari Arya Wiraraja.

Adapun Sora diyakini oleh Wijaya sebagai pihak yang akan mampu meredam berbagai gejolak yang mungkin timbul sebagai reaksi atas penangkatan para andahan Majapahit untuk posisi-posisi kritis.

Ketika nama Nambi disodorkan sebagai calon mahapatih, baik Arya Wiraraja maupun Sora segera menyetujui. Bagi kedua tokoh senior itu Nambi adalah orang yang paling tepat untuk mendampingi Wijaya untuk melahirkan sebuah tatanan baru yang berbeda dari Kadiri ataupun Singhasari.

Bagi Banyak Wide dan Sora, regenerasi dan kaderisasi perlu dilakukan, dan orang-orang muda perlu diberi kesempatan. Memang, ada banyak orang muda sebagai calon seperti Lawe, Kembar, Wedeng, Yuyu, Pangsya, Banyak, Semi, dan Kuti. Mereka adalah orang-orang muda yang potensial, akan tetapi dari sisi kegemilangan berpikir masih ada di bawah Nambi.

Sebelum mengangkat para andahan pada posisi-posisi kritis, Wijaya telah membentuk kelompok pengalasan Winehsuka atau Dharmaputra. Mereka terdiri dari Wedeng, Yuyu, Pangsya, Banyak, Semi, Kuti, dan Tanca. Kelompok inilah yang kelak justru akan berkibar saat pemerintahan Jayanagara sebagai penerus Wijaya.

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Banjir Darah Di Tepi Sungai Tambakberas - Bagian Kelima, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.