Senin, 07 Desember 2015

Sesungguhnya Kita Tidak Perlu Belajar Pada Katak


Sering saya menemukan nasihat berbau filosofis sejenis ini :

Belajarlah pada sebatang pohon.
Dari seekor lebahpun kita bisa belajar.
dsb.

Tidak ada yang salah dari niat si pemberi nasihat, juga tidak ada yang salah dari makna yang tersirat di dalamnya, hanya saja bila ditinjau secara makna redaksional maka kesannya menjadi lucu. Manusia itu makhluk yang diberi keunggulan, masa sih harus belajar pada sebatang pohon? Hehehe.

Ada solusi dari itu semua, perbaiki saja redaksionalnya agar antara niat, makna tersirat, serta redaksional menjadi seiring. Kita bisa menuliskannya seperti ini :

Mengambil hikmah dari fenomena pohon.
Hikmah dari kehidupan seekor lebah.

Semulia-mulianya manusia adalah rasulullah. Beliau paling etis saat berbicara, beliau paling pandai dalam berkata-kata, tapi sedikit sekali menggunakan kalimat-kalimat yang filosofis terlebih diplomatis. Hadits-hadits beliau lebih diwarnai oleh bahasa operasional, deskripsi, dan tutorial. Karena itulah bahasa beliau sangat universal. Mudah dipahami oleh orang yang paling bodoh hingga yang paling pandai tanpa kecuali.

Wahai semua yang merindukan perubahan kearah yang lebih baik, anda tentu tak akan sungkan menghayati gejala alam yang terjadi pada katak saat ia menerima perubahan. Jadi siapkan dua buah panci berisi air dan dua ekor katak yang biasa dimasak. Untuk panci yang pertama rebuslah air hingga mendidih, sedangkan untuk panci kedua letakkan saja pada kompor tanpa harus menyalakan apinya. Sekarang masukkan katak pada masing-masing panci dan anda tinggal mengamati. Dan bila ini merepotkan maka pergilah ke tukang swieke dan amati cara ia memasak katak. Bila masih merepotkan maka cukuplah anda hanya membaca tulisan ini saja.

Katak yang dimasukkan pada panci pertama, begitu badannya bersentuhan dengan air mendidih akan segera meloncat atau berusaha terbebas darinya. Setelah terbebas maka yang tertinggal dibadannya adalah luka didih yang membuat ia menderita. Adapun katak pada panci kedua akan tenang-tenang saja. Ia merasa nyaman berada di air sejuk. Kini anda tinggal menyalakan kompor pada panci kedua tsb. Caranya adalah dengan memberikan api yang kecil terlebih dahulu kemudian berangsur membesar.

Suhu air pada panci kedua akan naik perlahan-lahan. Setiap kenaikan suhunya tak akan terdeteksi oleh si katak sehingga akan tetap tenang-tenang saja. Kemudian akan tiba pada saatnya ia meregang nyawa secara tiba-tiba saat air sudah mendidih. Sang katak sesungguhnya telah dipaksa mati dengan cara tanpa paksaan.

Wahai anda yang brilian dan rindu perubahan, kebenaranpun akan terasa bagaikan air mendidih bagi yang sudah terbiasa bergelimang dalam kesalahan. Tinggal anda memilih apakah mau menggunakan cara panci pertama ataukah cara panci kedua dalam upaya "membunuh" gelimang-gelimang kesalahannya. Dalam bahasan ini tentu kesalahan yang umum terjadi di masyarakat. Kesalahan-kesalahan kecil yang perlu dikoreksi tanpa harus berurusan dengan hukum.

Banyak tradisi yang salah kita tahu, banyak paradigma yang salah kita tahu, banyak pola pikir yang salah kita tahu, banyak kebiasaan yang salah kita tahu, banyak persepsi yang salah kita tahu. Dan bukan sekedar tahu tapi sangat mungkin kita adalah pelaku. Maka sebaik-baik cara adalah mengajak dan bukan menyuruh. Hindarkan diri kita dari perasaan 'paling' : paling benar, paling pintar, paling hebat, paling tahu, paling nyunda, paling nasionalis, paling agamis, dan sebagainya.

Sikap merasa 'paling' biasanya mendorong manusia untuk jadi pemaksa kelas berat. Memaksa dengan cara paksaan, bukan dengan cara sistematis. Memaksa dengan cara sistematis itulah yang disebut dengan pengarahan. Kita tak dapat menghindarkan diri dari sunatullah bertajuk 'memaksa' karena dalam diri manusia ada sifat membangkang sekalipun untuk kebaikan atau bahkan kebenaran.

Memaksa, inipun hanya dapat dilakukan pada mereka yang telah berkomitmen dalam kebersamaan ( seiman, senegara, seorganisasi, setanggung jawab, atau ikatan lainnya ), jadi tidak bisa diterapkan untuk semua orang.

Memang, kita tidak perlu belajar pada sang katak, terlebih menirunya. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengambil pelajaran dari apa yang dialaminya.

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Sesungguhnya Kita Tidak Perlu Belajar Pada Katak, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.