Ketika seseorang lahir ke dunia sebagai bayi, maka ada
beberapa hal yang ia tidak mempunyai pilihan, yaitu :
Tidak bisa memilih siapa ayah dan bundanya,
Tidak bisa memilih apa jenis kelaminnya,
Tidak bisa memilih apa etnik dan bangsanya,
Tidak bisa memilih kapan dilahirkannya,
Tidak bisa memilih cacat atau normal,
Tidak bisa memilih apa agamanya,
Tidak bisa memilih siapa namanya.
Setelah dewasa ia mempunyai beberapa pilihan, misalnya saja
mengganti nama, pindah negara, atau pindah agama. Tapi bagi kebanyakan manusia,
ketiga hal tersebut biasanya dipertahankan hingga usia berakhir.
Dalam kasus pindah negara dimana pengertiannya adalah
beralih kewarganegaraan, ada satu hal yang tidak bisa dihapus atau digantikan
dari seseorang, meskipun ia memanipulasinya. Satu hal tersebut adalah
kesejatian tentang tempat dan tanggal lahir.
Bila dimana tanah dipijak di situ langit dijunjung dijadikan
falsafah, maka etnisitas seseorang, di Indonesia misalnya, sangat mungkin
ditentukan oleh tempat dimana ia lahir. Dan bukan sekedar mengikuti garis
keturunan ayah-bundanya.
Dalam kehidupan sehari-hari sering saya menemukan seseorang
yang justru menolak keras ketika keetnikan dirinya disangkutpautkan dengan
silsilah. Ia justru lebih suka bila tempat kelahiran yang dijadikan dasar.
Saya memiliki halaman Facebook yang bernama SKKS - Sim
Kuring Katurunan Sunda
Sebelum penulis menginisiasi paguyuban di dunia maya ini ada
sejumlah nama yang memenuhi benak. Umumnya nama-nama tsb diseputaran kata
"Sunda" dan "Urang". Setelah pilah-pilih maka nama yang
hampir saja dipilih adalah "Urang Sunda Internasional". Hampir dan
tentu saja tidak jadi. Penulis hanya berpikir satu hal bahwa nama organisasi
idealnya merujuk pada identitas yang mewakili suatu keadaan dan tepat sasaran.
Dengan pertimbangan tsb maka jadilah SKKS yang merupakan singkatan dari Sim
Kuring Katurunan Sunda.
Tanpa bermaksud menggiring pembaca pada situasi perdebatan,
polemik, apalagi menggurui maka perkenankan penulis untuk menguraikan alasan
dipilihnya nama Sim Kuring Katurunan Sunda. Sebelum itu kita lihat profil
berikut :
Nama Lengkap : SIM KURING KATURUNAN SUNDASingkatan dan nama
Populer : SKKSAtribut : SKKS - SIM KURING KATURUNAN SUNDATanggal berdiri : 01 -
02 - 2010
Secara alami dengan merujuk pada kebiasaan manusia yang
menyukai kepraktisan maka nama populer yaitu SKKS akan menjadi sebutan sehari-hari.
Lalu mengapa penulis memilih "Katurunan" dan tak
memilih "Urang" dalam memberikan nama ? Inilah alasannya.
Anggap saja anda lahir di sebuah kota A yang identik dengan
suku bangsa AA dan setelah berusia 1 tahun dibawa oleh orang tua mengembara ke
kota B yang identik dengan suku bangsa BB. Sejak saat itu tentulah segala
parameter kehidupan anda dikondisikan oleh eksistensi kota B meskipun mungkin
sesekali andapun merasakan suasana tanah kelahiran yaitu kota A. Demikianlah
keadaan tsb berlangsung hingga anda dewasa bahkan matang.
Suatu saat anda berkenalan dengan seseorang dan ia
menanyakan anda orang mana. Bila anda seseorang yang praktis maka anda akan
menjawab seperti ini :
"Saya orang kota B sejak usia 1 tahun hingga sekarang.
Di kota A hanya lahir"
Atau bila itu kurang praktis juga maka anda akan menjawab :
"Saya orang kota B."
Bila kenalan baru anda tsb merespon maka sangat mungkin
responnya adalah :
"Oh anda ternyata lahir di kota A. Berarti keturunan
suku bangsa AA dong."
Dengan ilustrasi seperti itu maka pengakuan kata
"Urang" menurut hemat saya tak selamanya merujuk pada suatu suku
bangsa tapi "Katurunan" sudah pasti merujuk pada suku bangsa. Kata
"urang atau orang" lebih merujuk pada istilah "warga".
Penulis adalah orang Serang Keturunan Sunda. Pak Rahmat
adalah orang Surabaya keturunan Sunda. Bu Resna adalah orang Cimahi keturunan
Padang, dan contoh lainnya.
Dengan harapan bisa meng-cover seluruh keturunan Sunda di
dunia maka penulis memutuskan untuk menggunakan istilah "katurunan".
Anda yang warga atau berdomisili di Cina sehingga jadi orang Cina, juga di
Hongkong, Inggris, Australia, Papua, Sumatera, Kalimantan, Amerika, India, dan
lain-lain selama katurunan Sunda ter-cover di SKKS.
Lalu apakah ini cara penulis untuk menonjolkan sukuisme ? Oh
tidak. Ini hanya ekspresi kerinduan terhadap asal-muasal saja. Dan penulis
pikir selama kita mampu bersikap universal maka tindakan-tindakan berkelompok
berdasarkan keturunan, kebangsaan, alumni sekolah, disiplin ilmu, kesamaan tujuan,
dan sebangsanya adalah manusiawi.
Saya jadi orang Sunda karena takdir, bukan karena usaha.
Kalau pada akhirna di pengembaraan ini bisa kompak dengan sesama Sunda maka itu
bukan karena sentimen kesukuan. Tapi karena faktor histori dan kesamaan visi.
Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Titik Temu Antara Keturunan Dan Kewargaan, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.