Selasa, 26 Juli 2016

Mari Menjadi Pembela Tanah Air Tanpa Bersikap Rasis!

Mari Menjadi Pembela Tanah Air Tanpa Bersikap Rasis!

Rasulullah melarang umatnya berlaku ashobiyah (sukuisme dan rasialis). Di sisi lain beliau juga mengajarkan agar umatnya bersyukur, menjaga titipan (di antaranya tanah-air), serta menegakkan keadilan.

Perbedaan antara ashobiyah dengan menjaga tanah-air ibarat perbedaan antara riba dengan bagi hasil. Seperti serupa tapi tidak sama.

Ketika isu badai non pribumi menguat, yang dikhawatirkan akan mengancam eksistensi pribumi, maka aku tentu saja akan memilih menjaga tanah-air dibanding bersikap sukuistis-rasialis.

Antara yang berusaha menjaga tanah-air dengan yang sukuistis-rasialis bisa saja melakukan hal yang sama, yakni : Waspada terhadap non pribumi. Atau malah hingga mengusirnya!

Pada beberapa kasus, praktek bisa sama tapi itikad atau niatnya yang berbeda.

Sukuistis dan rasialis selalu berkonotasi negatif sedangkan bela tanah air selalu berkonotasi positif. Pada hal-hal yang sangat kritis, praktek kaum sukuistis-rasialis akan sangat berbeda dengan praktek kaum pembela tanah air.

Apa perbedaannya secara praktikal tersebut? Ya, nanti kita bahas.

Ras merujuk pada ciri-ciri fisik yang khas dari sekelompok manusia. Untuk saat ini kita bisa mengelompokkannya seperti ras kuning, ras putih, ras coklat, dan ras merah.

Sejak dahulu manusia telah mengenal dan menjalankan praktek eksodus. Dengan demikian ras tidak selamanya identik dengan bangsa terlebih kewarganegaraan.

Hanya saja ada satu yang perlu digarisbawahi bahwa hingga kinipun suatu bangsa umumnya didominasi oleh ras tertentu. Bangsa Indonesia misalnya, didominasi oleh ras Melayu.

Bagi warga negara Indonesia non ras Melayu biasanya diberi atribut khusus. Atribut tersebut sebenarnya cukup panjang seperti : Warga Negara Indonesia Keturunan Cina, Warga Negara Indonesia Keturunan Arab, dsb.

Atribut panjang tersebut akhirnya disingkat menjadi WNI keturunan Cina, WNI keturunan Arab, dsb. Lalu apa sebenarnya yang disebut rasialis?

Rasialis adalah suatu tindakan merendahkan ras lain secara pukul rata dan membabi-buta. Hal ini tentu diiringi dengan menganggap bahwa ras dirinya sendiri adalah yang paling unggul. Dalam Islam hal seperti ini disebut ashobiyah.

Sejarah pernah mencatat peristiwa rasialis yang sangat dramatis. Bangsa Mesir dengan dikomandoi oleh Firáun melakukan penindasan tiada tara pada bani Israil. Hal yang sama dilakukan oleh Jerman beberapa puluh abad kemudian.

Di jaman sekarang tidak luput pula dari tindakan rasialis. Terhadap penduduk Rohingya muslim misalnya. Kebetulan saja isyu agama ikut mengemuka di sana. Bahkan dominan.

Bila rasialistis selalu berkonotasi negatif, maka tidak demikian dengan usaha bela tanah air.

Bela tanah air itu tidak akan mengedepankan rasialistik melainkan mengedepankan persamaan derajat di antara manusia. Bela tanah air akan lebih mendalami esensi dibanding perbedaan warna kulit.

Ketika ada sinyalemen bahwa tanah air dijadikan sapi perahan oleh bangsa lain, maka tindakan mengusir bangsa lain itu didasari oleh penolakan terhadap perilaku buruk mereka, dan bukan oleh sipitnya mata atau bulenya kulit.

Dunia sepakbola, terutama yang mancanegara, telah lama mengajarkan bagaimana caranya agar manusia tidak rasialis sekaligus tetap mampu menjaga martabat dan ketahanan bangsa.

Bagaimana mereka memilih pemain asing secara sangat selektif dan membatasi kuotanya adalah patron yang tidak bisa ditawar. Kemudian sedikit saja pemain asing tersebut berulah atau membuat cela maka dipecatlah bagiannya.

Tidak perlu takut dituding rasialis bila anda seorang pembela tanah air! Anda lho, bukan saya. Karena saya jauh dari pantas untuk disebut pembela tanah air.

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Mari Menjadi Pembela Tanah Air Tanpa Bersikap Rasis!, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.