Kamis, 18 Agustus 2016

Dari Perkara Tanggung Jawab Hingga Permen Cokelat

Dari Perkara Tanggung Jawab Hingga Permen Cokelat

Terkadang serpihan-serpihan ingatan itu hadir dalam benakku meskipun telah berlalu puluhan tahun. Termasuk saat pak Abbas, guru agama, melempar sebuah pertanyaan begini,

"Apa yang membuat seorang supir bis bisa berhati-hati dalam menjalankan kendaraan penuh penumpang?"

Beragam jawaban hadir, teman-temanku nampak antusias, sedangkan aku sendiri diam dan mengantuk. Ada yang menjawab karena tidak ingin celaka, kasih sayang, cinta kasih, peduli sesama, dan beragam lainnya.

Pak Abbas hanya tersenyum, nampaknya beliau belum puas. Akhirnya aku mencoba menjawab sekenanya, yang penting bunyi. Kataku,

"Karena tanggung jawab, pak!"

Di luar dugaan ternyata jawaban asbunku dibenarkan oleh beliau. Dan keluarlah paparannya yang kurang lebih begini,

"Untuk bisa peduli pada sesama, bersikap hati-hati, bersikap baik, tidak merugikan orang lain, dan sebagainya tidak perlu bersusah-payah menghadirkan rasa cinta, kasih sayang, atau istilah-istilah romantis lainnya bila memang tidak ada, tapi bertanggung jawablah. Dan sifat bertanggung jawab akan hadir pada manusia yang tawakkal.

Bapak perlu menyampaikan ini karena siapa tahu kelak ada di antara kalian yang memperoleh pekerjaan yang tidak dicintai atau tidak disukai. Sudah banyak contohnya!"

Paparan beliau memang bisa didebat oleh siapapun, tetapi disaat kita sudah tidak mampu mencintai produk dalam negeri karena kualitasnya yang abal-abal misalnya, atau tidak mampu mencintai sinema-sinema Indonesia karena asal jadi, maka sikap kepedulian hanya akan bisa ditumbuhkan oleh rasa tanggung jawab.

Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati. Jadi bagaimana mungkin rasa cinta atau rasa suka akan tumbuh bila yang diterima oleh mata adalah hal-hal yang tidak berkualitas, tidak elok, asal jadi, dangkal, abal-abal, dsb.

Dan faktanya memang demikian, selama uangnya cukup seseorang akan memilih produk-produk yang berkualitas, dari manapun produk tersebut berasal. Jadi dalam kontes ini berlaku hukum sebab akibat "karena berkualitas bagus maka sesuatu dicintai" bukan sebaliknya "karena dicintai maka yang berkualitas burukpun jadi terlihat baik".

Tahi ayam sih tetap saja tahi ayam, tidak hanya gara-gara cinta lantas tahi ayam berubah jadi permen coklat.

Coba perhatikan ibu-ibu yang giat bersenam atau bersolek. Mereka melakukan itu demi menjaga kualitas tubuhnya. Salah-satu tujuannya bisa jadi agar tetap dicintai suami.

Jadi jauh disudut hatinya yang terdalam, banyak kaum ibu yang juga mengakui bahwa untuk bisa dicintai harus tetap menjaga kualitas. Sebisa mungkin meskipun penuaan hanya bisa dihambat tapi tidak bisa dihentikan. Jadi konteksnya di sini adalah kualitas jasmaniah.

Soal kualitas fisik tentu saja bukan satu-satunya isu karena kualitas yang dimaksud dalam tulisan ini tentulah ditinjau secara luas dari aspek fisik, non fisik, dan kelayakan. Makanan yang higienis, dari bahan terpilih, enak, dan menarikpun bisa disebut tidak berkualitas bila haram misalnya. Atau tetap disebut berkualitas tapi tidak layak.

Akhirnya kembali ke soal tanggung jawab tadi. Karena rasa bertanggung jawab maka lahirlah kepedulian. Jadi mari kita tetap peduli pada produk-produk dalam negeri meskipun kita tidak mencintainya. Dan semua itu bisa dilakukan bila ada dorongan tanggung jawab.

Bila motto "Cintailah produk-produk dalam negeri" terasa tidak logis maka kita bisa menggantinya dengan "Pedulilah pada produk-produk dalam negeri". Ini ajakan ya, bukan perintah. Karena saya tidak berwenang memerintah anda. 

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Dari Perkara Tanggung Jawab Hingga Permen Cokelat, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.