Jumat, 11 Desember 2015

Liga Champion Dan Kenanganku Tentangnya

Liga Champion Dan Kenanganku Tentangnya

Liga Champion pemberitaannya sedang tren saat ini, maka tanpa bermaksud latah dan tidak ada salahnya, maka sayapun sekarang menulis tentangnya.

Dulu namanya Piala Champion dan saya pertama kali menonton finalnya adalah pada tanggal 29 Mei 1985 jam 21.00 waktu Belgia. Pertandingan berlangsung di Stadion Heysel.


Ya, pertandingan berlangsung jam 21.00 waktu setempat atau menjelang dini hari waktu di Indonesia tanggal 30 Mei 1985. Tertunda 2 jam dari jadwal yang telah ditentukan. Pertandingan tertunda karena terjadi tragedi yang akan terus dikenang oleh dunia. Tragedi Heysel 1985!

Jam 18.00 atau satu jam sebelum kick off, terjadi gesekan antara dua suporter. Adalah suporter Juventus yang mula-mula melempari suporter Liverpool. Dalam keadaan banyak yang mabuk dan unggul dari sisi jumlah, para suporter Liverpool menyerbu. Para suporter Juventus terdesak dan tersudut pada tembok stadion yang akhirnya jebol karena dorongan mereka. Justru jebolnya tembok ini yang banyak menelan korban jiwa. Tercatat 39 orang tewas.

Serangan balik akan dilakukan oleh para Juventini ini ketika melihat banyak rekannya yang menjadi korban. Tapi mereka justru malahy berhadapan dengan pasukan keamanan pertandingan yang sebelumnya telah berhasil menguasai para pendukung Liverpool.

Ada sejumlah tekanan pada penyelenggara agar pertandingan ditunda. Perundingan berlangsung alot selama dua jam sambil melakukan upaya-upaya penertiban stadion. Dan keputusan akhirnya adalah pertandingan tetap dilaksanakan untuk mencegah kerusuhan susulan.

Sebenarnya pertandingan berjalan seru dan seimbang hingga pada menit ke-56 Zbigniew Boniek dijatuhkan sedikit di luar kotak penalti. Wasit memberikan hukuman penalti tanpa ada sedikitpun protes dari para pemain Liverpool. Nampaknya memang ada semacam beban yang sangat berat yang diderita oleh para pemain Liverpool. Bahkan dalam menyerangpun mereka seakan tidak ingin membuat gol. Di lain pihak, para pemain Juventuspun gagal membuat gol dalam serangan terbuka.

Dari gambaran pertandingan yang ada, para pemain Liverpool seperti malas menang tetapi tidak ingin memberikan kemenangan yang mudah bagi Juventus.

Adalah Michel Platini yang menjadi algojo sukses. Gol tersebut dirayakan secara normal seperti umumnya para pemain melakukannya. Tapi di saat penyerahan piala, nampak suasananya sendu.

39 suporter sepak bola meninggal dalam peristiwa ini, 32 suporter Juventus, 4 orang warga negara Belgia, 2 orang Perancis serta seorang Irlandia.

  • Rocco Acerra (29)
  • Bruno Balli (50)
  • Alfons Bos
  • Giancarlo Bruschera (21)
  • Andrea Casula (11)
  • Giovanni Casula (44)
  • Nino Cerrullo (24)
  • Willy Chielens
  • Giuseppina Conti (17)
  • Dirk Daenecky
  • Dionisio Fabbro (51)
  • Jacques François
  • Eugenio Gagliano (35)
  • Francesco Galli (25)
  • Giancarlo Gonnelli (20)
  • Alberto Guarini (21)
  • Giovacchino Landini (50)
  • Roberto Lorentini (31)
  • Barbara Lusci (58)
  • Loris Messore (28)
  • Gianni Mastrolaco (20)
  • Sergio Bastino Mazzino (38)
  • Luciano Rocco Papaluca (38)
  • Luigi Pidone (31)
  • Bento Pistolato (50)
  • Patrick Radcliffe
  • Domenico Ragazzi (44)
  • Antonio Ragnanese (29)
  • Claude Robert
  • Mario Ronchi (43)
  • Domenico Russo (28)
  • Tarcisio Salvi (49)
  • Gianfranco Sarto (47)
  • Amedeo Giuseppe Spolaore (55)
  • Mario Spanu (41)
  • Tarcisio Venturin (23)
  • Jean Michel Walla
  • Claudio Zavaroni (28)

Dampak dari tragedi ini tidak main-main. Seluruh klub sepakbola Inggris dilarang berkiprah selama 5 tahun di kancah internasional. Dan hal ini sama-sekali tidak mengundang protes dari pihak Inggris. Malah Margareth Tatcher sendiri sebagai perdana menteri waktu itu yang pertama kali meminta agar sepakbola Inggris dihukum.


Dua Wajah Sepakbola Inggris

Inggris, negara yang diyakini sebagai tempat dimana sepakbola berasal pernah mengecap satu kali juara Piala Dunia, yakni ketika menjadi tuan rumah di tahun 1966. Negara ini memiliki dua wajah pada sepakbolanya yaitu wajah ramah para pemainnya serta wajah garang para suporter.

Ramah, para pemainnya berwajah ramah dalam pengertian yang luas dan bukan sekedar murah senyum. Mereka terkenal sangat menjunjung tinggi fairplay. Pemain seperti Gary Lineker misalnya, jangankan karu merah bahkan sekedar kartu kuningpun belum pernah mencicipi.

Masih terkait dengan tingkat fairplay para pemain Inggris, seorang Maradona pernah berkata, "Aku bisa mencetak gol indah itu karena melawan Inggris. Para pemain mereka tidak suka melakukan pelanggaran yang tidak sportif. Bila bukan melawan Inggris, mungkin aku sudah terjatuh dilanggar sebelum sampai di gawang mereka."


Pembaca yang budiman, saya mendapat kenangan tentang Liga Champion bukanlah di stadion Heysel sana tetapi melalui televisi yang masih berteknologi hitam putih milik nenek. Bagi saya hanya itu satu-satunya kenangan tentang Liga Champion yang amat membekas. Setelah itu saya rutin setiap tahun menontonnya tapi tidak ada satupun pertandingan yang terpatri pada ingatan.

Demikianlah artikel dari Kontakmedia yang berjudul Liga Champion Dan Kenanganku Tentangnya, semoga bermanfaat. Dan terima kasih untuk Anda yang telah berkunjung ke blog ini.